Oleh Rudi Kuswanto - PortalHR
Banyak jalan menuju Roma. Demikian pula dalam berbisnis, beragam
cara bisa dipilih untuk meraih sukses. Termasuk menjalankan usaha di
bidang jasa yang sangat spesifik, seperti kursus monitor. Apa
kiatnya agar tetap eksis?
Menjalani aktivitas yang menimbulkan perasaan easy, enjoy, excellent
dan earn, tentu menjadi dambaan banyak orang. Begitu pula bagi
seorang Jiran Mujiran, pemilik Zhillan Service Centre (ZSC), usaha
yang menawarkan solusi monitor komputer. Selain memberikan servis
monitor, Jiran juga menawarkan private training untuk individu dan
perorangan maupun special private training bagi institusi maupun
korporat.
Ditemui di kantornya di kawasan Rawa Belong, Palmerah, Jakarta
Selatan, dengan santai Jiran berkisah tentang ihwal ia merintis
usahanya. Diakui Jiran, usahanya ini bermula dari keisengannya menulis
di blog. “Saya suka sharing pengalaman di bidang teknik terkait dengan
pekerjaan seharihari,” katanya membuka diri. Drop out dari perguruan
tinggi pada 1998 tidak menghalanginya untuk terus belajar. Jiran sempat
kuliah di STT Mandala, Bandung, selepas tamat dari STM Insan Cinta
bangsa, Bandung, jurusan Elektronika. Namun, kuliahnya tidak ia
selesaikan.
Meski keluar dari jalur formal, lelaki kelahiran Bandung, 5
september 1977, ini lumayan percaya diri. Berbekal kemampuan di
bidang Teknik Elektro, Jiran mengaku relatif gampang keluar masuk
perusahaan. “Malah sampai capek menghitungnya. Seingat saya lebih dari
13 kali pindah-pindah kerja,” tuturnya sambil tersenyum. Alasan ia
seperti ‘kutu-loncat’ ini, Jiran mengatakan bahwa ia adalah seorang
yang tipenya pembosan. “Karena motivasinya bukan pada pekerjaan itu
sendiri. Misalnya, saya ingin belajar komputer, saya masuk ke
perusahaan komputer. Saya ingin belajar notebook saya masuk ke
perusahaan notebook,” imbuhnya.
Ia mengaku cukup lama ‘menetap’ di PT LG Indonesia. Di perusahaan
asal Korea ini, Jiran meniti karier dari teknisi hingga menjadi
kepala teknisi. “Suatu ketika saya sudah merasa stuck. Saya
berpikiran, mentok-mentok karier yang bisa saya raih paling banter
adalah manajer level. Dari sisi ilmu praktik, saya merasa sudah
banyak menguasai. Di sinilah saya ingin tantangan baru,” ujarnya.
Di Kota Kembang, Jiran mulai mengasah jiwa entrepreneur dari
keinginan kuatnya untuk sharing tentang skill yang telah ia kuasai.
“Dari beberapa keahlian, terutama sejak di LG Indonesia, secara
spesifik saya lebih menguasai bidang monitor. Saya pernah pegang
showroom yang khusus menangani servis monitor dan handphone, tapi
untuk all product. Di situ pula saya mulai sharing ilmuilmu yang
saya kuasai, misalnya menjadi trainer bagi para teknisi baru atau
anakanak magang,” katanya lagi.
Bakat mengajar inilah yang disadari Jiran sehingga ia berani
membuka kursus privat di rumahnya. Hanya saja, waktu itu tidak
dijalankan secara serius karena ia masih berstatus karyawan.
“Pertama saya ngajar di rumah, ternyata responsnya sangat tinggi. Saya
buka kursus ini lebih untuk sharing, bukan konsentrasi pada
bisnisnya. Saya terdorong buka kursus karena prihatin dengan lembaga
pendidikan yang menjual ilmu, membuat paket kursus dengan harga
tinggi, tapi kebanyakan yang diberikan teori dan tidak menjamin
skill seperti yang diharapkan,” tuturnya menjelaskan.
Sayang kursus informal yang dirintisnya ini sempat terhenti, ketika
ia menuruti keinginannya untuk mencari tantangan baru di Ibukota.
Jiran menerima tawaran untuk bekerja di perusahaan monitor SPC,
sebuah perusahaan lokal yang mendistribusikan produk-produk dari
China pada 2007. Rupanya Jiran memang mendapat hikmah di tempat
barunya ini. “Saya merasa mendapat input dan ilmu tambahan yang sangat
bermanfaat. Untuk itu pula saya terpanggil dan merasa berkewajiban
untuk berbagi,” ujar pria berusia 33 tahun ini.
Meski Jiran ditempatkan di bagian yang tidak bersentuhan langsung
dengan monitor, dengan keahlian yang ia miliki tetap saja ia tidak
bisa menampik dari soal monitor. Jiran senantiasa dijadikan tempat
untuk bertanya bagi temantemannya di divisi monitor jika mereka
menghadapi persoalan-persoalan teknis. “Ini pula yang makin mendorong
saya untuk terus berbagi ilmu kepada orang lain. Mulailah saya
tuliskan pengalaman tersebut di blog. Rupanya blog saya dibaca orang
lain dan dari sinilah mulai ada permintaan untuk kursus privat dari
pembaca loyal,” ceritanya.
Jiran ingat benar ada pembaca loyal yang mendorongnya untuk buka
kursus dan dia memegang komitmen menjadi murid pertamanya. Benar
saja, pembaca loyal ini begitu bersemangat datang ke tempat Jiran
saat kursus privat pertama kali dibuka. “Rupanya orang ini punya
software house, serta banyak menangani servis hardware tapi ia
terkendala tidak punya teknisi khusus yang bisa menangani monitor.
Motivasinya dalam belajar sederhana, setelah bisa menguasai ilmunya, ia
bertekad untuk menularkan ilmunya kepada karyawan karyawannya,” katanya
mengenang.
Setelah kursus privat monitornya berjalan, Jiran mulai rajin
memasarkan jasanya meski masih sebatas melalui blog. Sekalian
posting ia pasang iklan, “Dibuka kursus privat dan reguler untuk
teknisi monitor dan CRT”. Tidak hanya kursus, Jiran memberikan pula
nilai tambah. “Kelebihannya adalah saya mengajarkan basic
entrepreneurship, karena target saya mengajarkan orang yang tidak bisa
menjadi bisa, menjadikan orang yang tidak berani menjadi berani.
Kenapa saya lakukan ini, karena kebanyakan sekolah formal hanya
mengajarkan teori, tapi tidak mencetak siswa sampai berani,” jelasnya.
Jiran memiliki obsesi dari kursusnya. Ia ingin menyederhanakan
bahwa untuk orang-orang yang putus sekolah, anakanak lulusan SMA
yang susah mencari kerja maupun tenaga kerja non-skill, melalui kursus
singkat ini siswa akan memiliki pengetahuan yang aplikatif, tanpa
harus lulus pendidikan formal. “Bahkan saya berani memberikan jaminan
kepada siswa sampai bisa karena targetnya adalah skill. Malah
rata-rata siswa saya hampir 70% dari lulusan diploma maupun
sarjana,” imbuh suami dari St.Yulia P dan ayah seorang putri, R.
Zhillan Nur Ilmi (7).
Jiran mengakui ia sangat terinspirasi dengan kalimat “techical
skill is mastery of complexity, while creativity is mastery of
simplicity. So let’s get have a skill and be creative”. Dua kalimat
ini pula yang ia jadikan tagline usahanya. “Saya gabungkan antara
technical skill dan kreativitas. Intinya siswa akan diajak untuk
mempunyai skill dan menjadi kreatif. Saya hapus yang namanya
kompleksitas dengan mengubah hal yang kompleks menjadi hal yang
simpel,” paparnya.
Jiran memberi gambaran, yang namanya monitor itu sangat kompleks,
rumit dan berisiko karena nyetrum. Tak heran, orang kebanyakan tidak
berani menghadapi tegangan AC/DC dan memilih menghindari
pekerjaanpekerjaan yang berisiko. “Ketakutan itu lebih banyak terjadi
karena kurangnya pengetahuan, padahal yang kompleks itu bukan pada
barangnya tapi lebih kepada mindset-nya. Di sinilah saya membuka mindset
tersebut selama siswa mau tahu, karena kalau ia mau mendalaminya,
sebenarnya tidak ada yang kompleks,” ungkapnya.
Dari sisi entrepreneur, Jiran membuka wawasan kepada siswa bahwa di
bidang yang ia geluti saat ini, sebetulnya banyak sekali peluang,
baik di bidang pekerjaan, atau pun berwirausaha. “Berdasarkan
pengalaman saya, alangkah sayangnya kemampuan atau skill yang kita
punyai kalau hanya dipergunakan untuk menjadi karyawan saja. Namun
demikian, itu tetap menjadi pilihan secara pribadi. Saya berikan
pengertian dan perbandingan, misalnya kita menggarap suatu proyek
repair monitor berbekal proposal dengan menyasar segmen perusahaan,
dibanding kalau hanya menjadi pekerja sangat jauh bedanya, baik dari
sisi materi maupun dari pengalaman berwirausahanya,” ujarnya
menerangkan.
Sebagai ilustrasi, Jiran bercerita bahwa saat ini ia sedang getol
menjalani usaha solusi monitor, yang menawarkan jasa kepada korporat
tentang semua hal yang berhubungan dengan monitor. Jadi, bukan
hanya pada servisnya tapi lebih kepada memberikan solusi. “Kami
menawarkan jasa tersebut berangkat dari kenyataan bahwa rata-rata
perusahaan memiliki satu gudang yang berisi monitor yang tidak
berfungsi normal, dan kami menawarkan kepada korporat bahwa monitor
yang awalnya terbengkalai ini bisa menjadi asetnya kembali,” tuturnya.
Tidak hanya kembali berfungsi, sebut Jiran, aset tersebut bisa
memiliki nilai jual yang tinggi, yang untuk kemudian bisa dilelang
atau menjadi back-up serta lebih penting lagi, dapat mengurangi bujet
belanja TI korporat. “Kami tidak datang untuk menawarkan jasa servis
seperti pada umumnya, tapi menawarkan bahwa perusahaan bisa
mengembalikan nilai asetnya, atau melatih staf TI perusahaan yang
ratarata hanya untuk jobdesk di bidang networking atau programming.
Sementara untuk urusan hardware, lebih sering dilempar ke pihak ketiga,
baik ke Mangga Dua atau Glodok. Nah, kami menawarkan opsi yang kedua,
yakni jasa training dengan target staf TI-nya menjadi multi skill,”
imbuhnya.
Soal potensi pasar, Jiran langsung menunjukkan contoh untuk
perkantoran di sepanjang Jl. Sudirman saja, pengguna komputer bisa
ditaksir hingga ratusan bahkan ribuan banyaknya. Ia pun berhitung,
misalkan diambil asumsi 5% atau 2% saja dari jumlah monitor yang rusak
dan terbengkalai, bisa didapat angka 50-an monitor. Dari jumlah ini,
seandainya bisa dikelola, dikembalikan lagi fungsi dan nilainya, maka
benefit dari program ini akan terasa sekali manfaatnya.
“Daripada monitor rusak hanya dihargai Rp 10-15 ribu per satuan,
dengan difungsikan kembali atau istilahnya kita rekondisi, monitor
tersebut langsung terdongkrak nilainya. Monitor 15 inch bisa laku Rp
300 ribu, sedangkan yang 17 inch bisa terjual Rp 450 ribuan, bahkan
untuk LCD masih bisa dihargai Rp 700 ribuan. Dari sini selanjutnya
terserah perusahaan, apakah monitor tersebut dijual atau dijadikan stok
back-up, sehingga kalau ada yang rusak mereka tidak harus langsung
membeli monitor yang baru,” katanya.
Soal tarif kursus di ZSC, Jiran mematok biaya Rp 750 ribu untuk
paket reguler. Proses belajar selama 6 minggu (1,5 bulan) atau 18
jam efektif dengan 12 kali pertemuan. Harga paket tersebut sudah
termasuk tools kit, multimeter dan workbook. Sedangkan untuk special
private bisa melalui inhouse training maupun company training
dengan waktu efektif 12 jam++. Investasi untuk program ini
ditetapkan Rp 1,5 juta per orang (area Jabodetabek) dan Rp 2,5 juta
(di luar Jabodetabek) dengan jumlah kelas minimal 5 orang. Peserta
pun akan diberikan tools kit, multimeter dan workbook.
Aries Sunandar, staf di Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan
Pendidik dan Tenaga Kependidikan Pertanian Cianjur, Jawa Barat yang
pernah menjadi siswa ZSC mengaku sangat terbantu dari ilmu
‘jalanan’ yang ia dapatkan. “Saya sangat antusias dengan metode
belajar seperti ini, apalagi mudah dipahami,” imbuhnya. Rekan Aries,
Agus Sopian, menimpali. “Saya jadi lebih mengerti mengenai servis
monitor, sekarang saya dapat memperbaiki monitor yang tadinya rusak
menjadi normal kembali,” ujarnya.
Sumber : PortalHR.com 2010
http://bit.ly/1j6nkII
KomponenElektronika
Tidak ada komentar:
Posting Komentar